Politik, Analisis

Mengejar suara generasi sosial media

Menurut data, pada Pemilihan Presiden 2019 nanti, 48 persen pemberi suara adalah pemilih pemula

Muhammad Nazarudin Latief  | 08.11.2017 - Update : 09.11.2017
Mengejar suara generasi sosial media

Jakarta Raya

Muhammad Latief

JAKARTA

Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober lalu, di Istana Bogor terasa benar milik para pemuda. Meski diawali dengan protokoler upacara, setelahnya suasana begitu cair dan santai. Termasuk sikap Jokowi, sapaan akrab Presiden Joko Widodo.

Istana Bogor juga berhias bak tempat nongkrong. Ada panggung yang disiapkan untuk penampilan standup comedian dan sejumlah penyanyi yang sedang digandrungi anak muda seperti Barasuara dan Rizky Febian.

Di antara bean bags warna-warni, Jokowi gesit berkelindan, menyapa langsung anak muda yang datang dari berbagai kalangan dan profesi.

Jokowi juga berkeliling ke stan-stan pedagang dan food truck yang diundang khusus untuk meramaikan acara. Di salah satu stan, Jokowi menjajal produk lokal bikinan pengusaha muda – sebuah bomber jacket warna hijau dengan logo tengkorak di salah satu sisinya.

Bukan kali ini saja Jokowi tampil ala anak zaman sekarang. Sebelumnya, presiden terlihat melakukan kunjungan resmi ke Tasikmalaya, Jawa Barat, dengan jeans dan sneakers. Kali lain, dia tampil di vlog milik putra bungsunya, Kaesang Pangarep, pergi ke barbershop kekinian dan mencoba pomade.

Dengan gaya santainya, Jokowi memang pintar mengambil hati anak muda. Lewat YouTube dan Facebook, sang presiden berbagi keseharian. Dia bercerita tentang kambing peliharaan, adu panco dengan Kaesang, memvideokan Raja Salman bin Absulaziz makan siang, hingga nge-vlog bareng Presiden Recep Tayyip Erdogan saat berkunjung ke Turki.

Potensi besar pemilih pemula

Direktur Populi Centre Usep Saiful Achyar menganggap perilaku Jokowi yang “anak muda banget” adalah cara pendekatannya pada generasi muda.

Kelompok ini, kata dia, mempunyai potensi menjadi salah satu basis pendukung.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap, pada Pemilihan Presiden 2019 nanti, pemilih muda dengan rentang usia 20-28 tahun mencapai 48 persen dari total pemilih.

Jika rentang usia kaum muda itu diturunkan, menjadi 17-38 tahun, maka lebih dari separuh pemilih adalah pemilih muda. Jumlahnya kira-kira lebih dari 100 juta jiwa.

Populasi milenial ini tidak hanya tumbuh dan berkembang di Pulau Jawa atau kota-kota besar saja. Mereka juga jumlahnya besar di pelosok pedesaan bahkan di luar Jawa, yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota.

Semua masih potensial menggalang suara, karena merebut hati milenial tak berarti menyasar mereka yang hidup di perkotaan saja. Tapi semua penduduk muda yang punya akses internet dan media sosial.

“Tidak salah menyasar anak muda sebagai basis pendukung secara politik. Jumlah mereka sangat besar,” ujar Direktur Riset Charta Politika Muslimin.

Seperti Populi Centre, Charta Politika adalah sebuah lembaga think tank politik di Jakarta.

Generasi ini, menurut Muslimin, berbeda dengan pendahulunya yang biasanya memilih sebuah partai atau calon presiden mengikuti orang tuanya. Mereka tumbuh menjadi generasi “penggerak dan mempunyai pengaruh besar”. Influencers, bahasa kerennya.

Buktinya, isu-isu yang digulirkan oleh anak-anak muda selalu mendapat perhatian, seperti antikorupsi, penegakan hukum, pelestarian lingkungan, dan penegakan hak asasi manusia (HAM).

Ciri utama generasi ini, kata Muslimin, adalah gadget and social media freak. Selain itu, mereka juga kritis, suka perubahan, komunikatif, dan suka menggelar berbagai kegiatan berbasis komunitas.

Secara politik mereka adalah ceruk besar yang belum berafiliasi pada partai politik atau undecided voters.

Namun, aspirasi politiknya jelas. Mereka secara umum menginginkan tokoh politik yang mempunyai pikiran terbuka, sederhana, dan egaliter. Pada sosok tersebut, mereka menempatkan harapan untuk perubahan ke arah yang lebih baik.

Tak heran, lanjut Muslimin, tokoh-tokoh seperti Walikota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Banyuwangi Azwar Anas, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, dan Presiden Joko Widodo populer di kalangan ini.

Partai politik cari peluang

Direktur Alvara Riset Centre Hasanuddin Ali mengatakan, pendekatan pada golongan muda ini tidak hanya dilakukan oleh tokoh politik perorangan saja. Kini, hampir seluruh partai politik (parpol) menyasar segmen ini.

Ada parpol baru yang langsung mem-branding diri sebagai partai anak muda. Sementara, parpol yang sudah lama bercokol di peta politik Indonesia pun membuat organisasi under bow kepemudaan. Semuanya merekrut pengurus inti dari kalangan muda.

Namun, Hasan mengingatkan, parpol harus bekerja lebih keras untuk membuat generasi ini menoleh kepada mereka.

Karena milenial adalah pemilih independen yang menentukan ukuran, nilai, serta norma politiknya sendiri, keputusan politik juga akan mereka ambil pada detik-detik terakhir menjelang “hari pemilihan” setelah menilai seluruh program politik yang ditawarkan.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) adalah satu dari parpol baru itu. Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni mengatakan, PSI memang didirikan untuk memperbaiki kegagalan parpol lama yang tidak cukup mampu mewadahi aspirasi generasi muda.

Parpol yang ada, kata Toni, telah menjadi antitesis dari keinginan para pemuda. Anak muda yang anti-hierarki dan anti-paternalistis mengaku tak cocok dengan parpol konvensional.

“Partai kami ingin anak muda tidak hanya jadi voters, tapi aktor politik sesungguhnya,” ujar Toni.

Selain menyuarakan isu lapangan pekerjaan dan pendidikan yang lekat dengan anak muda, PSI juga menyoroti isu intoleransi dan beragam manifestasinya. “Ini untuk membiasakan anak muda dengan kompetisi sehat, tanpa memperhatikan latar belakang dia berasal,” ujar dia.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP), salah satu parpol tertua di Indonesia, juga mengaku melakukan banyak penyesuaian agar diterima di kalangan anak muda.

Salah satunya dengan merambah media sosial.

“Jadi kami ini santri yang juga ada di media sosial. Etika keislaman kami perhatikan, tapi harus terlihat seperti partai anak muda,” kata Wakil Sekjen PPP Ahmad Baidowi.

PPP juga menyewa konsultan untuk menganalisis dinamika anak muda di media sosial. Dengan konsultan ini, pengurus partai berdiskusi isu dan media apa yang paling cocok untuk mendekati dan meraih pemilih dari kalangan generasi muda.

Hal nyaris sama dilakukan oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem), yang menganalisis generasi muda dari pola perilakunya, alih-alih jumlah semata. Analisa perilaku ini akan digunakan dalam menentukan isu dan alat apa yang digunakan untuk mendekati mereka.

Namun Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya mengaku tak lantas mau mem-branding diri sebagai partai anak muda. Pasalnya, dalam sejarah elektoral di Indonesia belum pernah ada partai yang berhasil menjadi pemenang dengan menyertakan identitas politik yang sangat spesifik.

Tidak partai buruh, tidak partai Islam, dan pastinya tidak pula partai anak muda.

NasDem termasuk salah satu parpol yang memberikan ruang besar pada anak muda. Mereka punya organisasi sayap seperti Liga Mahasiswa Nasdem dan Garda Pemuda. Mereka juga memunculkan ikon-ikon anak muda yang menggugah partisipasi politik.

Jumlah besar, pengaruh kecil

Meski jumlahnya besar, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes berujar, generasi milenial belum menjadi kekuatan politik baru secara nasional.

Mereka hanya mempunyai signifikansi politik di wilayah perkotaan. Pengaruhnya dalam aspek politik dan ekonomi juga belum terlalu kuat.

Namun jika media sosial yang biasa mereka gunakan semakin dipenuhi oleh informasi-informasi yang bisa dipercaya dan tidak lagi dipenuhi hoax, kata dia, niscaya akan bisa membentuk generasi muda yang lebih kuat dan mampu melahirkan perubahan.

Ini sudah terjadi di banyak negara, ucap Arya, seperti gerakan Tahrir Square pada 2011 di Mesir atau Gerakan Payung Kuning di Hongkong.

“Generasi milenial akan makin menguat, jika medsos sudah bisa dipercaya,” ujar Arya.

Parpol bisa merebut hati pemuda bila pola komunikasi mereka intensif dan berkelanjutan. Hasan berkata, ada tiga bidang yang paling mudah menjadi gerbang masuk kepada milenial, yaitu olahraga, musik-film, dan teknologi informasi.

Isu-isu yang seksi untuk generasi muda, sebut Hasan, adalah soal ketersediaan lapangan pekerjaan dan isu jaminan sosial.

Namun, parpol yang mengangkat isu ini tapi tak bisa memberi harapan perubahan di masa depan, belum tentu bisa menarik para milenial dan memicu partisipasi politik mereka.

Partisipasi politik generasi milenial akan membesar, kata Willy, jika ada kelompok atau figur yang dianggap sebagai “new hope” atau memberi jawaban atas masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.

“Kita pernah mengalaminya dengan fenomena Pak Jokowi, waktu itu partisipasi politiknya luar biasa,” ujarnya.​

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.