Nasional

Rentan 'abuse of power', UU Ormas layak revisi

Jika tidak direvisi, UU Ormas dapat memberi ruang kepada pemegang kekuasaan untuk mengabaikan proses pengadilan

Megiza Soeharto Asmail  | 20.11.2017 - Update : 20.11.2017
Rentan 'abuse of power', UU Ormas layak revisi

Jakarta Raya

Megiza Soeharto Asmail

JAKARTA 

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) yang telah disahkan menjadi undang-undang saat rapat paripurna DPR pada 24 Oktober lalu telah diusulkan untuk diamandemen dan masuk dalam Program Legislasi Nasional [Prolegnas] 2018.

LSM yang bergerak di bidang pengawasan dan penyelidikan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, Imparsial, menilai bahwa revisi UU Ormas yang diajukan oleh DPR saat ini dapat membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Direktur Imparsial Al Araf menyebut Perppu Ormas yang pada akhir bulan lalu disahkan sebagai Undang-undang, secara substansi, memberikan ruang yang besar kepada pemegang kekuasaan untuk dapat melakukan pembubaran ormas tanpa melalui proses pengadilan.

“Saya yakin bahwa dalam dinamika reformasi dan demokrasi, seharusnya yang kita kedepankan adalah memberi ruang masyarakat untuk membangun kebebasan berekspresi, berorganisasi, karena itu bagian dari hak yang diatur dalam konstitusi,” kata Al Araf dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin.

Meski begitu, imbuh dia, dalam level tertentu negara memang dapat melakukan pembatasan atas dasar Undang-undang demi alasan keamanan.

“Dalam konteks itu tentu proses pengadilan adalah rangkaian yang tepat untuk melakukan pembubaran,” sebut Al Araf.

Lebih lanjut, Imparsial menilai, dengan rencana dimasukkan revisi UU Ormas menjadi pembahasan di Prolegnas, pemerintah maupun DPR telah merasakan adanya persoalan dalam UU ini yang dapat menimbulkan persoalan baru.

“Ketika UU Ormas masuk dalam Prolegnas, itu pesan yang ingin disampaikan bahwa kita [DPR dan Pemerintah] akui ada kelemahan dalam UU ini, sehingga harus direvisi,” kata dia.

Revisi UU Ormas juga dinilai sangat penting karena rentan menimbulkan konflik antar aturan hukum. Pasalnya, dalam UU Ormas yang baru dijelaskan bahwa pembubaran organisasi dapat dilakukan oleh pemerintah.

Lebih lanjut, definisi Ormas yang diterjemahkan sebagai organisasi berbadan hukum dan tidak berbadan hukum, membuat perkumpulan berbasis Yayasan juga masuk dalam kategori Ormas.

“Mengacu pada UU ormas ini, berarti pembubaran yayasan juga dilakukan oleh pemerintah. Padahal di sisi lain ada UU Yayasan yang sampai sekarang masih tetap berlaku, yang mekanisme pembubarannya melalui pengadilan,” tutur Al Araf.

Karenanya, Imparsial menilai, jika UU Ormas tidak direvisi maka akan ada penggeseran proses pembubaran organisasi dari pengadilan menjadi pemerintah.

“Ini sama dengan pemerintahan Orde Baru yang penuh dengan nuansa dimensi represif. Dan itu yang kita kritik pada saat itu,” kata Al Araf.

Unsur delik bisa diperdebatkan

Tidak hanya itu, UU Ormas saat ini juga dinilai berbahaya karena membuka ruang potensi penyalahgunaan kekuasaan. Dengan memberikan otoritas kepada kekuasaan untuk membubarkan organisasi dengan dalih yang secara unsur delik masih debatable, maka rentan terjadi abuse of power di Indonesia kelak.

Dia menjelaskan, delik yang masih diperdebatkan adalah sebutan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga Pancasila.

“UU Ormas itu bisa dipakai untuk mengancam organisasi-organisasi yang kritis terhadap kekuasaan, mengadvokasi kasus lingkungan, kasus tambang, bisa tinggal dituduh saja organisasi ini mengganggu pembangunan, mengganggu NKRI, mengancam dan sebagainya. Itu bisa menjadi ancaman bagi kelompok-kelompok pembela HAM, ataupun masyarakat sipil di daerah,” beber Al Araf.

Di tempat yang sama, anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan setidaknya ada empat hal yang menyebabkan UU Ormas layak direvisi.

Pertama, mengenai prosedur pembubaran ormas yang tanpa melalui proses pengadilan.

“Ini menurut saya tidak bisa dipertahankan sama sekali,” kata Arsul.

Kedua, pentingnya memasukkan semangat pembinaan untuk ormas yang dianggap menyimpang.

Selanjutnya adalah ketentuan pidana. Kalaupun ada ketentuan pidana, kata Arsul, harus mengikuti apa yang sudah dibahas di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

“Keempat adalah dalam men-judgement satu orang itu anti-Pancasila, tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah saja. Harus jelas siapa pemerintahnya ini,” ujar dia.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın