Analisis

Pertarungan kekuasaan di Arab Saudi dan masa depan dinasti

Meskipun Arab Saudi tampak melakukan reformasi radikal, tetapi kalau kita melihatnya lebih jeli lagi bahwa sebenarnya langkah yang diambil Putra Mahkota Mohammad bin Salman bin Abdulaziz Al Saud lebih pada konsolidasi kekuasaan.

Samuel Ramani  | 23.03.2018 - Update : 26.03.2018
Pertarungan kekuasaan di Arab Saudi dan masa depan dinasti

London, City of

Samuel Ramani

- Penulis adalah kandidat DPhil dalam Hubungan Internasional di St. Antony's College, Universitas Oxford. Dia juga merupakan kontributor Washington Post dan The Diplomat.

LONDON

Raja Arab Saudi Salman bin Abdul-Aziz Al Saud mengubah peta politik Teluk Parsi dengan menunjuk anak lelakinya, Menteri Pertahanan Muhammad bin Salman, sebagai Putra Mahkota. Beberapa bulan setelah penobatannya sebagai Putra Mahkota, Muhammad bin Salman mengumumkan dukungannya terhadap upaya reformasi sosio-ekonomi dan politik di Arab Saudi untuk memodernisasi ideologi Wahhabi negara itu. Tujuan reformasi itu untuk menarik investasi internasional dan meletakkan dasar pijakan untuk kemakmuran negara kerajaan itu di masa depan setelah era minyak usai.

Terlepas dari pernyataan berani ini, arah agenda reformasi Arab Saudi telah ditentukan oleh sang Putra Mahkota untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menghilangkan tantangan terhadap otoritasnya. Mohammad bin Salman memandang aspirasi politik anggota keluarga Al Saud, yang tidak puas dengan kenaikan cepatnya menjadi penguasa, sebagai ancaman paling signifikan terhadap otoritasnya. Untuk menghadapi ancaman yang dirasakan ini, agenda reformasi Menteri Pertahanan Arab Saudi ini berfokus pada bagaimana melepaskan pengungkit kekuatan ekonomi dan politik di Arab Saudi dari keluarga Al Saud, serta membangun koalisi baru Muslim moderat, elite sektor swasta, dan nasionalis Saudi anti-Syiah, untuk mempertahankan kekuasaan pribadinya.

Karena keluarga Al Saud secara historis sangat dekat dengan ulama Wahhabi yang berpengaruh untuk mempertahankan legitimasi ideologisnya, Mohammad bin Salman berusaha untuk memutus kaitan antara para pemimpin agama tersebut dengan negara Saudi. Pada Oktober 2017, Mohammad bin Salman menantang peran tradisional Wahhabisme sebagai ideologi penuntun Arab Saudi, dengan alasan penerapan ideologi tersebut terkait serangan ke Masjidil Haram dan Revolusi Iran yang mendorong Arab Saudi menafsirkan hukum Syariah secara berlebihan dan menerapkannya secara lebih ketat. Karena ancaman yang ditimbulkan oleh militan Sunni telah menurun dan Iran telah gagal menyebarkan ideologi revolusionernya ke luar perbatasannya, sang Putra Mahkota berpendapat bahwa Arab Saudi dapat memodernisasi ideologi Wahhabi meski dengan sedikit risiko serangan balik.

Dengan menerapkan undang-undang, seperti membolehkan perempuan menyetir dan mengizinkan kembali dibukanya kembali bioskop, setelah sekian lama dilarang, Mohammad bin Salman berusaha mendapatkan kepercayaan dari generasi elite Saudi berikutnya, dan meminggirkan pengaruh ulama konservatif, seperti Sheikh Salman al-Ouda dan Sheikh Awad al-Qarni, yang ditahan sementara pada bulan September 2017. Karena 70 persen penduduk Arab Saudi berusia di bawah 30 tahun, maka anak Raja Arab Saudi dari istri ketiga tersebut percaya bahwa reformasi yang dia lakukan akan memberikan legitimasi kekuasaan dan popularitas yang memungkinkan dia menindak tegas ideologi Wahhabi dan faksi Al Saud lainnya.

Selain secara bertahap mengikis pengaruh Wahhabisme atas kehidupan sehari-hari di Arab Saudi, Mohammad bin Salman juga mengambil langkah-langkah untuk melepaskan ekonomi Saudi dari klan saingan Al Saud melalui kampanye anti-korupsi yang dipublikasikan, serta mengintensifkan upaya privatisasi. Pada akhir November tahun lalu, dia mengizinkan penahanan 500 anggota keluarga kerajaan Saudi dan para elite bisnis di hotel Riyadh Carlton di Riyadh.

Mohammad bin Salman membenarkan keputusan yang sangat kontroversial ini dengan mengklaim bahwa aset senilai USD800 miliar secara ilegal dipegang oleh elite Saudi dan bahwa tindakan pemaksaan diperlukan untuk mengakhiri budaya korupsi Arab Saudi. Beberapa minggu setelah penangkapan ini, dia memuji efektivitas upaya antikorupsi dengan menyatakan bahwa 95 persen elite Saudi yang dihadapkan dengan bukti kegiatan ilegal rela mengembalikan pendapatan mereka yang tidak sah ke negara.

Meskipun banyak analis dan pembuat kebijakan Barat memuji upaya Mohammad bin Salman dalam mengatasi korupsi, pengamatan lebih dekat atas kampanye antikorupsi Arab Saudi mengungkapkan bahwa tujuan utama manuver Putra Mahkota itu adalah untuk mengkonsolidasikan basis kekuatan dia. Penangkapan Waleed al-Ibrahim, ketua Pusat Penyiaran Timur Tengah (MBC), dan Pangeran Alwaleed bin Talal, pemilik Kelompok Rotana, terkait erat dengan keinginan Mohammed bin Salman untuk menguasai media Arab Saudi.

Manuver sang Putra Mahkota ini tidak terbatas pada lingkup media. Upaya keras Mohammad bin Salman juga dilakukan terhadap kelompok pengembang Binladin dan Pangeran Turki bin Abdullah, investor terkemuka dalam sistem angkutan umum Riyadh, menegaskan keinginan dia untuk menguasai industri konstruksi dan real estat di Arab Saudi. Seiring dengan gaya hidup yang konsumtif dan nepotisme yang mencolok terus menjadi ciri khas para elite dalam mengelola pemerintahan Mohammed bin Salman, jelas bahwa gerakan antikorupsi Arab Saudi setidaknya sebagian bertujuan mengikis kekuatan penantang dalam keluarga Al Saud dan sekutu mereka.

Saat upaya privatisasi Arab Saudi dipicu oleh pertumbuhan program kesejahteraan pemerintah yang tidak berkelanjutan, dan keinginan Riyadh untuk menarik investasi internasional yang lebih besar, proses privatisasi yang tidak merata terkait erat dengan ambisi konsolidasi kekuasaan Mohammad bin Salman.

Meskipun Arab Saudi baru-baru ini mengumumkan keputusannya untuk menunda IPO Aramco hingga 2019, boleh jadi, penyebaran aset raksasa minyak kepada investor domestik dan internasional akan memberikan kesempatan bagi kelas baru oligarki Saudi untuk mendapatkan keuntungan finansial. Kelompok oligarki ini akan berhutang budi kepada Muhamad bin Salman atas kemakmuran mereka dan alat pemaksa yang dimiliki Putra Mahkota untuk memastikan kesetiaan para oligarki ini kepada pemerintahnya.

Faktor krusial lainnya dari upaya konsolidasi kekuasaan Mohammad bin Salman adalah gerakannya terhadap nasionalisme anti-Syiah garis keras. Dengan mempromosikan gerakan anti-nasionalisme Iran dan mengerahkan warga Saudi untuk menangkal ancaman Iran guna menjaga stabilitas regional, Mohammad bin Salman mendorong nasionalisme Saudi untuk memastikan bahwa publik tetap setia kepada negara kerajaan itu, bahkan jika Arab Saudi tidak lagi menerapkan Ideologi Wahhabi.

Dalam konteks sektarianisme yang tengah meningkat dewasa ini, penggunaan kekuatan yang dilakukan Mohammad bin Salman terhadap pemberontak Houthi pro-Iran di Yaman, serta isolasi diplomatik Qatar yang berdamai dengan Iran, telah mendapat banyak dukungan rakyat. Karena sebagian besar masyarakat Saudi memandang tindakan tersebut mencerminkan Putra Mahkota sebagai pemimpin yang kuat.

Karena Amerika Serikat tidak memedulikan tindakan dari kebijakan Putra Mahkota ini, Arab Saudi kemungkinan akan terus gerakan ini atas nama pro-Sunni di Timur Tengah untuk waktu yang lama. Meskipun koalisi politik baru Mohammad bin Salman telah menunjukkan tanda-tanda soliditas kuat dalam beberapa bulan terakhir, strateginya untuk memisahkan negara Saudi dari keluarga Al Saud dan Wahhabisme memiliki kelemahan serius. Kemampuan Mohammed bin Salman untuk mengendalikan perilaku para ulama Wahhabi yang ingin mempromosikan pesan alternatif atau menentang kebijakan resmi terhadap kelompok militan masih belum jelas.

Standar ganda dalam kampanye anti-korupsi Arab Saudi juga dapat menghalangi investasi internasional di sektor swasta. Kontrol keluarga Al Saud terhadap ekonomi Saudi berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Risiko ini memastikan bahwa jalan Mohammad bin Salman menuju konsolidasi kekuatan pribadi tidak akan lancar namun malah akan bertahap dan penuh dengan tantangan serius.

Meskipun Arab Saudi berada pada proses perubahan radikal, namun sepertinya Mohammad bin Salman masih meragukan kemampuannya untuk melakukan gerakan ini dalam menghancurkan klan Al Saud yang menjadi saingannya.

Hanya waktu yang akan mengatakan apakah Mohammad bin Salman dapat membentuk koalisi politik baru, atau kekuatan reaksioner di dalam keluarga Al Saud dan ulama Wahhabi menggagalkan konsolidasi kekuatan pribadi dia.


- Pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah opini penulis dan tidak selalu mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın