Analisis

Upaya merajut damai di Bumi Afghan

Mengapa Indonesia memiliki peran penting dalam proses perdamaian Afghanistan, dan dalam upaya negara ini lepas dari ketergantungan dua negara adidaya

Pizaro Gozali İdrus  | 05.03.2018 - Update : 06.03.2018
Upaya merajut damai di Bumi Afghan

Jakarta Raya

Pizaro Gozali

JAKARTA

Pada 29 Januari 2018, Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kenegaraan ke Afghanistan, di tengah banyaknya serangan bom di ibu kota Kabul. Jokowi, panggilan akrab presiden, konon menolak memakai rompi anti peluru guna menunjukkan itikad, bahwa teror tak akan membuat gentar.

Dalam kunjungan yang pertama setelah enam dekade lalu Soekarno menginjakkan kaki di Kabul pada 1961 ini, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani menyematkan Medal of Ghazi Amanullah kepada Presiden Joko Widodo atas keteguhan dan keberaniannya mengupayakan peace building di negara yang sudah 40 tahun dilanda konflik tersebut.

Medal of Ghazi atau Amir Amanullah Khan Award, tak disematkan ke sembarang orang. Penghargaan sipil tertinggi di Afghanistan ini dianugerahkan oleh kepala negara untuk warga negara Afghan atau asing karena layanan mereka untuk Afghanistan.

Selain Jokowi, sejumlah kepala negara lain juga pernah dianugerahi penghargaan yang sama, yakni Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden AS George W. Bush, Presiden Kazakhztan Nursultan Nazarbayev, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Afghanistan selama ini luluh lantak karena perang sipil dan perebutan dua kekuatan adidaya, Amerika Serikat (AS) dan Rusia. Namun kini, dalam upayanya membangun jembatan perdamaian, Afghanistan mencoba menjangkau Indonesia.

Latar belakang konflik

Konflik Afghanistan yang sudah berjalan selama empat dekade, hingga kini belum menampakkan tanda-tanda mereda. Pertarungan ini terjadi antara berbagai kelompok milisi, dengan Taliban yang paling berpengaruh, dengan pemerintah. Taliban sendiri merupakan faksi perlawanan Muslim.

Dalam Konferensi Internasional Kabul Peace Process yang dihadiri perwakilan dari 25 negara – termasuk Indonesia – dan diselenggarakan pada 28 Februari lalu, Presiden Ashraf Ghani bermaksud menawarkan perdamaian kepada Taliban.

Ghani, dalam konferensi itu, menawarkan Taliban menjadi partai politik. Ghani juga berjanji melakukan gencatan senjata, membebaskan tahanan Taliban, serta mencabut sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada mereka.

Tawaran perdamaian ini bukan yang pertama kali. Juni 2017, pertemuan perdamaian diadakan di Istanbul, Turki, namun tak menghasilkan apapun.

Sejauh ini, Taliban menolak perundingan dengan pemerintah Kabul sebelum pasukan pendudukan di bawah komando AS meninggalkan Afghanistan.

Sejak invasi AS ke Afghanistan pada 7 Oktober 2001, pasukan AS tak pernah benar-benar pergi dari wilayah ini. Sebelum kepemimpinan Taliban dan perang sipil pecah pada 1990-an, Afghanistan banyak dipengaruhi oleh Soviet. Dan bahkan sebelum kedua kekuasaan modern itu, Afghanistan merupakan wilayah Ottoman.

Afghanistan sendiri memiliki ribuan sumber energi dan mineral yang belum dieksplorasi, dan memiliki potensi besar untuk membangun negara mereka. Sumber daya mineral utama di negara ini adalah kromium, tembaga, emas, biji besi, dan berbagai logam mulia lain. Belum lagi ladang gas alam dan minyak bumi yang belum tergali.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pentagon dan Badan Survei Geologi Amerika Serikat, Afghanistan memiliki potensi mineral senilai USD 3 triliun yang belum dieksplorasi.

Konflik di negara ini semakin rumit karena hubungan dengan Pakistan, negara tetangganya, tak akrab. Selain masalah perbatasan, kedua negara juga terlibat saling tuduh lawannya mempersenjatai gerakan separatis bersenjata di wilayah masing-masing.

Lepaskan ketergantungan Rusia-AS

Ahli dalam permasalahan negara-negara Asia, Yon Machmudi, menilai Afghanistan sebagai negara yang sukses mengusir Rusia – kala itu masih Soviet.

Namun, Afghanistan gagal membangun konsensus di antara kelompok-kelompok yang ada, sehingga terjadi perebutan kekuasaan.

“Akhirnya satu sama lain berusaha saling menguasai dan mendominasi di dalam pembentukan kebangsaan mereka dan tidak ada kerja sama yang bisa dibangun,” sebut Yon.

Permasalahan semakin akut karena Afghanistan diselimuti oleh persoalan isu korupsi.

“Itu yang menjadi persoalan, karena rata-rata negara yang konflik itu korupsinya lebih besar,” kata peraih gelar Doktor dari Kajian Asia dari Australian National University (ANU) ini.

Yon menjelaskan langkah untuk mengajak Taliban berunding menjadi momentum yang sangat penting, karena Taliban adalah kelompok yang pernah berkuasa dan memiliki pengaruh tidak kecil di Afghanistan.

“Jika dibiarkan sama sekali akan berisiko tinggi karena konflik tidak akan pernah selesai,” kata pengajar di Universitas Indonesia ini.

Namun penghancuran kelompok juga bisa sangat berisiko karena berpotensi memunculkan balas dendam berkelanjutan.

“Saya kira dengan adanya rekonsiliasi nasional dengan melibatkan Taliban, semoga dapat melahirkan kesepakatan yang permanen,” kata Yon.

Menurut Yon, Afghanistan sudah lama melihat Indonesia sebagai contoh negara dengan keberagaman agama dan etnis, tetapi bisa menjaga perdamaian dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Ini berbeda dengan Afghanistan yang sebenarnya dari sisi agama dan etnis tidak terlalu banyak, tetapi konflik sangat besar,” jelas Yon.

Yon menilai konflik di Afghanistan juga tidak lepas dari kepentingan Rusia dan AS yang hingga kini masih bertarik-tarikan. Posisinya strategis, berdekatan dengan Rusia, sehingga membuat Afghanistan wilayah penghubung ke negara lainnya.

Karena itu, Afghanistan harus mencoba melepaskan diri dari ketergantungan kepada Rusia-AS dan berusaha menyelesaikan persoalannya sendiri.

“Dengan mengajak Indonesia, saya kira ini merupakan sinyal positif agar mereka tidak terus-menerus bergantung kepada Amerika,” jelas Yon.

Pendekatan ulama ala Indonesia

Afghanistan sendiri telah menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan ulama Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia guna merumuskan perdamaian.

Afghanistan berpandangan Indonesia bisa membantu mendorong ulama untuk mengeluarkan imbauan perdamaian di Afghanistan.

Selain sebagai negara mayoritas Muslim, Indonesia juga dinilai sukses menangani konflik di Aceh dan Poso.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Luar Negeri Muhyidin Junaidi mengatakan pertemuan akan digelar pada pertengahan Maret di Jakarta, dengan mengundang sekitar 45 ulama dari ketiga negara ditambah ulama Taliban.

Masalah yang dibahas, kata Muhyiddin, berkaitan dengan fatwa sepihak tentang bolehnya menyerang negara yang didukung kekuatan asing, prosedur mengeluarkan fatwa, bom bunuh diri, dan lain sebagainya.

“Kami ingin bicara langsung dengan mereka untuk menghentikan kekerasan,” kata Muhyidin kepada Anadolu Agency, Minggu.

Muhyiddin mengatakan Majelis Ulama Indonesia sudah melakukan pertemuan berkali-kali dengan High Peace Council (HPC) Afghanistan untuk merancang pertemuan tiga ulama negara tersebut.

“HPC ini dibentuk pemerintah Afghanistan, namun suaranya ada yang pro-Taliban, ada juga yang moderat,” jelas Muhyidin.

Direktur Asia Selatan dan Tengah Kementerian Luar Negeri Ferdy Piay mengatakan pelibatan ulama dalam perdamaian di Afghanistan karena Indonesia ingin pendekatan yang soft power.

Salah satunya, dengan mendirikan Indonesia Islamic Centre di Kabul, yang peresmiannya dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla saat berada di Kabul bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk menghadiri konferensi perdamaian.

“Kita inginnya peace building,” jelas Ferdy kepada Anadolu Agency di Jakarta, Minggu.

Dalam kompleks itu, sebut Ferdy, terdapat Masjid As-Salaam yang telah diresmikan tahun 2016. Berikutnya juga akan dibangun klinik dan perpustakaan berisi buku-buku Islam.

“Di dalam Islamic Centre, kita juga akan membangun ruang pertemuan untuk digunakan ulama dan masyarakat,” kata Ferdy.

Selain itu, kata Ferdy, Indonesia berencana membantu Afghanistan dalam peningkatan kapasitas mengelola energi dan sumber daya mineral.

“Afghanistan kaya akan tambang. Pelatihan akan diisi oleh Kementerian Perdagangan,” jelas Ferdy.

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.