Ekonomi, Analisis, Nasional

Kesepakatan parlemen Uni Eropa yang menggigit sawit

Pemerintah menyebut kebijakan Parlemen UE 'diskriminatif' dan mempersenjatai diri dengan ISPO, sementara aktivis lingkungan minta Indonesia berbenah diri

Muhammad Nazarudin Latief  | 30.01.2018 - Update : 31.01.2018
Kesepakatan parlemen Uni Eropa yang menggigit sawit

Jakarta Raya

Muhammad Latief

JAKARTA

Air muka Asmar Arsjad, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo) mengeras saat berbicara soal parlemen Uni Eropa (UE) yang sepakat menghapuskan (phase out) penggunaan produk kelapa sawit.

Keputusan ini diambil setelah pemungutan suara parlemen UE untuk “the draft of Directive on the Promotion of the use of energy from renewable sources” dalam sesi pleno, 17 Januari lalu di Prancis.

Isinya, parlemen sepakat untuk menghapus penggunaan produk kelapa sawit pada 2021 dan bahan bakar alami (biofuel) dengan bahan dasar tanaman – termasuk kelapa sawit – bagi semua negara anggotanya. Parlemen juga sepakat menekan hingga maksimal 7 persen penggunaan sawit untuk sumber energi terbarukan transportasi sampai 2030.

Keputusan ini memang tak langsung berlaku efektif. Keputusan final nanti masih harus melibatkan negosiasi tripartit antara Parlemen Eropa, Komisi, dan Dewan Menteri Eropa.

Namun kata Asmar, jika sampai kesepakatan itu diintegrasikan dalam renewable energy directive (RED) dan benar diberlakukan mulai 2021 di negara-negara anggota UE, maka nasib 5,3 juta petani sawit di Indonesia terancam.

Dia sudah membayangkan ekspor hasil olahan kelapa sawit ke kawasan tersebut akan berkurang drastis. Otomatis, hasil panen para petani tidak laku.

“UE ini bermuka dua. Di satu sisi mereka melakukan kampanye negatif atas sawit, tapi konsumsi mereka makin meningkat,” ujar dia di Jakarta, akhir pekan lalu.

UE merupakan pasar produk kelapa sawit Indonesia terbesar kedua setelah India, diikuti oleh Tiongkok pada posisi tiga.

Menurut data United States Departement of Agriculture (USDA), pada 2015 gabungan impor 28 negara EU atas crude palm oil (CPO) sebesar 6,7 juta ton, dengan konsumsi sebesar 6,5 juta ton. Januari 2018, tak ada penurunan signifikan. USDA mencatat UE masih mengimpor sebanyak 6,5 juta ton CPO dengan angka konsumsi sebesar 6,35 juta ton.

Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut, total ekspor Indonesia atas produk CPO ke UE hingga Oktober 2017 sudah mencapai 4,3 juta ton atau sekitar 20 persen dari total ekspor produk kelapa sawit.

Dalam nominal, total ekspor Indonesia per tahun sekitar USD150 miliar, USD23 miliar disumbang kelapa sawit

Memang, ekspor CPO Indonesia ke UE dari 2013-2016 menurun tipis 4 persen, namun nilainya justru naik dari USD1,8 miliar (Januari-September 2016) menjadi USD2,7 miliar year to year.

Menurut Asmar, kampanye hitam UE pada sawit bukan kali ini saja terjadi. Berbagai tuduhan buruk sudah pernah dialamatkan sebelumnya.

‘Kampanye hitam’ dan inkonsistensi UE

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, perlakuan buruk UE terhadap sawit sudah dimulai sejak awal 2000-an.

Tuduhannya, berkontribusi terhadap deforestasi hutan hujan, praktik industri yang tidak berkelanjutan (unsustainable), hingga pelanggaran hak asasi manusia.

“Semua itu tujuannya agar sawit tidak kompetitif,” ujar dia.

Menurut Joko, di Indonesia ada sekitar 11,7 juta hektare perkebunan kelapa sawit di berbagai daerah. Sebanyak 17 juta orang hidupnya tergantung dari sektor ini, baik langsung maupun tidak langsung.

Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) Mahendra Siregar menyebut, UE telah lama melakukan diskriminasi produk sawit Indonesia.

Pertama adalah tuduhan dumping pada produk biodiesel, yang belakangan dibuktikan sebaliknya oleh Panel Penyelesaian Sengketa World Trade Organization (WTO) pada 25 Januari lalu.

Diskriminasi lain, kata Mahendra, dilakukan oleh perusahaan-perusahaan makanan. Mereka mencantumkan label “tidak mengandung minyak sawit” atau “bebas minyak kelapa sawit” pada produk yang dipasarkan.

“Esensinya adalah mendiskreditkan sawit,” ujar dia.

Selain black campaign, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan Taningdjaja juga menyebut UE inkonsisten.

Inkonsistensi pertama, ujar Paulus, sebelumnya UE meminta pada 2020 produk CPO yang diekspor sudah berasal dari industri yang berkelanjutan. Namun, pada 2021, UE malah melarang penggunaan produk kelapa sawit sebagai bahan dasar biodiesel.

Berikutnya, kata Paulus, adalah inkonsistensi untuk mulai melarang penggunaan biodiesel dari bahan dasar makanan, seperti minyak sawit, kedelai, dan jagung pada 2030.

“Jika konsisten, maka pelarangannya seharusnya mulai 2030, bukan 2021,” ujar Paulus.

Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita (kedua kanan) bersama Deputi Perdana Menteri Turky, Fikri Isik (kanan) melihat kelapa sawit atau palm oil, salah satu produk ekspor terbesar Indonesia, di Pameran Trade Expo yang digelar di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Tangerang, Banten, 12 Oktober 2017. (Eko Siswono Toyudho - Anadolu Agency)

Bersiap lobi dan dialog

Pun begitu, pemerintah harus mulai menghadapi risiko ekspor sawit ke negara-negara UE berkurang drastis jika kesepakatan keputusan parlemen itu menjadi kebijakan eksekutif UE.

Tanggapan pemerintah Indonesia, tentu saja menyesalkan.

“Indonesia kecewa dengan voting parlemen pada plenary meeting di Perancis itu,” ujar Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan Pradnyawati kepada Anadolu Agency.

Meski tak ada dokumentasi pasti, pada 2016 diperkirakan 45 persen penggunaan sawit di Eropa dipakai untuk bahan baku pembuatan biodiesel.

Menurut Pradnya, mengutip data dari Palm Oil Agribusiness Strategic Institute, kinerja ekspor biodiesel dari Indonesia ke UE sejak 2013 mengalami penurunan drastis, dari USD635 juta menjadi USD9 juta pada 2016 karena pengenaan bea masuk anti-dumping (BMAD) yang besar di kawasan tersebut.

Pada 26 Januari lalu, Panel Penyelesaian Sengketa World Trade Organization (WTO) menyatakan UE melanggar Ketentuan Perjanjian Anti-dumping dalam menetapkan BMAD biodiesel asal Indonesia.

Enam gugatan sengketa dimenangkan oleh Indonesia dan UE diwajibkan melakukan penyesuaian BMAD agar sejalan dengan peraturan Perjanjian Anti-dumping WTO.

Terlepas dari hasil akhir panel yang memenangkan Indonesia, pemerintah menganggap UE telah mencurangi Indonesia.

"Keputusan itu sifatnya diskriminatif. Tapi kita lihat saja. Ini kan belum implementable," ujar Retno Marsudi kepada Anadolu Agency di Kompleks Istana Kepresidenan, 19 Januari lalu.

Menteri Retno bersama Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bakal melobi Dewan UE dan merencanakan dialog dengan negara-negara UE soal program Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), yakni program perkebunan sawit yang berkelanjutan.

Bukan Indonesia saja yang berang.

Menteri Industri Pertanian dan Komoditi Malaysia Mah Siew Keong menyebut Duta Besar Malaysia di 28 negara UE akan menyuarakan keberatan mereka di tempat tugas mereka masing-masing.

“Pemerintah tidak akan mentolerir fitnah terhadap industri kelapa sawit dan memastikan Malaysia memberi tanggapan yang tepat kepada pihak-pihak yang merugikan industri kelapa sawit,” kata Mah seperti dikutip dari Bangkok Post.

Malaysia adalah negara eksportir terbesar sawit kedua setelah Indonesia. Diikuti oleh Guatemala, Benin, Papua New Guinea, dan beberapa negara lain seperti Brazil, Ekuador, Honduras, Kolombia, Ghana, Nigeria, Kenya dan Thailand.

Setop atau berbenah diri

Geram kepada berbagai kebijakan UE, lima tahun lalu Apkasindo pernah mengusulkan untuk menghentikan ekspor sawit ke UE, sekaligus membuat aksi balasan memboikot produk-produk UE di Indonesia.

Aksi setop ekspor ke UE ini diamini Mahendra. Menurut dia, nilai ekspor ke UE kini tak sebesar dulu ketika negara-negara Eropa masih menjadi konsumen sawit terbesar dunia.

Di tempat lain, pencarian pasar baru oleh Indonesia untuk sawit terus berlanjut. Pada 25 Januari lalu, Presiden Joko Widodo bertemu dengan Perdana Menteri India Narendra Modi di sela-sela KTT ASEAN-India di New Delhi.

Salah satu agendanya, meminta agar India mempertimbangkan penurunan bea masuk vegetable oil – sawit termasuk di dalamnya – dari Indonesia.

India saat ini adalah negara pengimpor sawit terbesar di dunia dengan jumlah impor 10,2 juta ton, dan konsumsi 10,3 juta ton pada Januari 2017, menurut data USDA.

Pasar dalam negeri, sebut Mahendra, juga tak kalah potensial. Setelah India, Indonesia mengonsumsi sawit terbanyak di dunia dengan angka 9,3 juta ton. Angka ini lebih besar ketimbang konsumsi 28 negara UE digabung.

“Masuk akal kalau kita tidak ekspor ke Eropa,” ujar dia.

Mahendra juga yakin pasar biodiesel akan tumbuh di negara-negara berkembang, sementara konsumsi negara-negara Eropa mengecil.

Hal serupa diungkapkan Paulus Tjakrawan. Pasar biodiesel dalam negeri masih terbuka lebar, terutama setelah pemerintah menguji coba tingkat pemakaian hingga 20 persen (B20) pada kereta api, mesin pertambangan, dan peralatan perang.

“Tambahannya sekitar 400-500 ribu kiloliter setahun,” ujar dia.

Tahun ini pemerintah menargetkan pemakaian bahan bakar nabati hingga 5,7 juta kiloliter. Sedangkan tahun lalu pemakaian bahan bakar nabati dalam negeri sudah mencapai 3,23 juta kiloliter.

Seorang personil TNI menyiramkan air di wilayah hutan yang terbakar di Desa Rimbo Panjang, Kampar, Riau pada 6 Agustus 2015. Perkebunan kelapa sawit ditengarai menjadi penyebabnya. Meski, di tahun-tahun ini jumlah kebakaran hutan sudah berkurang drastic. (Yenni Safana - Anadolu Agency)

Namun besarnya potensi ekonomi ini seharusnya tak membuat pemerintah abai akan berbagai kelemahan industri sawit dalam negeri, seperti yang sudah bertahun-tahun dikampanyekan pegiat lingkungan. Walhi, salah satunya.

Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Khalisah Khalid kepada Anadolu Agency mengatakan, larangan produk sawit dari UE justru bisa jadi momentum Indonesia memperbaiki tata kelola perkebunan sawit.

“Pemerintah harus memaksa perusahaan sawit mengubah watak dan praktik buruk yang ada,” ujar Khalisah, Selasa.

Menurut dia, pelanggaran HAM dalam bentuk perampasan tanah untuk perkebunan sawit masih terjadi di lapangan. Kebakaran hutan, menurut dia, juga jadi fakta tak terbantahkan, terlebih ketika sebagian besar titik api ada di perkebunan sawit.

Bila Eropa bisa melindungi kepentingan mereka dengan melarang produk minyak sawit, menurut Khalisah, Indonesia juga harus bisa melindungi kepentingan rakyat akibat rusaknya lingkungan karena praktik buruk perkebunan sawit.

Walhi pun meminta supaya Presiden Joko Widodo fokus dengan rencana mengeluarkan moratorium (penghentian izin) lahan kelapa sawit, karena program ISPO dinilai tak berjalan efektif.

Namun apakah moratorium atau ISPO yang lebih efektif untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit dalam negeri, masih menjadi perdebatan pelaku industri dan pegiat lingkungan.

Meski bisa juga diartikan, pemerintah telah mengusahakan banyak cara supaya komoditi penyumbang devisa terbesar negara ini tetap laku dijual namun tak merusak lingkungan.

*Iqbal Musyaffa dan Erric Permana turut berkontribusi untuk artikel ini.


Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın