Analisis, Nasional

Meneropong pesantren kalong di Indonesia

Setelah Pesantren Ibnu Mas’ud tutup, Kementerian Agama berencana membuat standar pendirian pesantren

Pizaro Idrus  | 09.10.2017 - Update : 09.11.2017
Meneropong pesantren kalong di Indonesia Para santri Pesantren Ibnu Mas'ud membaca kitab suci di lantai dua masjid yang berada di kompleks pesantren di Bogor, 13 September 2017. Pesantren Ibnu Mas'ud ditutup oleh pemerintah setelah dimasukkan dalam kategori "Pesantren Kalong", yakni pesantren yang tak mengantongi izin operasional dan administrasi di bawah Kementerian Agama. (Dandy Koswaraputra - Anadolu Agency)

Jakarta

Pizaro Idrus

JAKARTA

Insiden penutupan Pesantren Ibnu Mas’ud – yang ditengarai mengajarkan paham radikal dan berafiliasi dengan kelompok teroris al-Dawla al-Islamiya al-Iraq wa al-Sham (Daesh) atau ISIS – oleh pemerintah, pertengahan September lalu, menciptakan stigma bahwa sekolah semacam itu merupakan sarang teroris.  

Pemerintah sendiri memberi empat alasan penutupan pesantren yang berada di kaki Gunung Salak, Bogor, tersebut. Pertama, Ibnu Mas’ud tidak memiliki izin pendirian dan operasional sebagai lembaga pendidikan keagamaan. Kedua, pesantren itu juga tidak memiliki izin mendirikan bangunan.

Selain dua alasan tadi, pemerintah daerah juga menganggap kegiatan perguruan Islam tersebut bertentangan dengan ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Alasan keempat, pesantren tersebut dianggap meresahkan masyarakat.

Saat Anadolu Agency mengunjungi pesantren tersebut, kegiatan yang dilakukan oleh para santri adalah membaca al-Qur’an dan ibadah ritual lainnya, tanpa ada dialog interaktif antara murid dan guru.

“Yang mengajarkan mereka radikal itu orang tua mereka, bukan kami,” kata Agus Purwoko, kepala Yayasan Ibnu Mas’ud kala itu, mengacu kepada beberapa peserta didik di pesantren tersebut yang orang tua mereka terpidana kasus terorisme.  

Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) sendiri mengakui ada sejumlah lembaga yang mengklaim sebagai pesantren tetapi mengajarkan sikap anti pemerintah Indonesia yang sah, termasuk mengajarkan ideologi melawan negara.

“Dia tidak mengikuti SOP [standard operating procedure] Kemenag [Kementerian Agama],” ujar Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris kepada Anadolu Agency, baru-baru ini.

Menurut Irfan, pesantren yang terdaftar di Kemenag seharusnya mengikuti kurikulum pendidikan nasional, salah satunya pengajaran ideologi negara Pancasila untuk mencegah pemahaman radikal.

BNPT sudah melakukan pemetaan terhadap pesantren yang belum mengikuti SOP Kemenag, atau yang disebut “Pesantren Kalong”, meski variabel penelitiannya masih belum sempurna sehingga lembaga itu tak bisa mengeluarkan datanya.

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Agama Hadi Rahman mencatat 29.700 pesantren resmi yang terdaftar, namun pada kenyataan jumlah pesantren yang ada di Indonesia jauh lebih besar, yaitu sekitar 80.000 pesantren.

Suasanya di gerbang depan Pesantren Ibnu Mas’ud di Bogor, 13 September 2017. Bulan lalu, pesantren ini ditutup oleh pemerintah, salah satunya karena tidak memiliki izin sebagai pesantren. (Dandy Koswaraputra - Anadolu Agency)

Radikalisasi

Dengan jumlah pesantren resmi kurang dari separuh sekolah madrasah yang tercatat di Kemenag, beberapa pihak menilai situasi tersebut memberi angin segar bagi proses radikalisasi di Indonesia seperti yang dikhawatirkan banyak orang.

Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Taufik Andrie mengatakan, kaderisasi kelompok radikal terutama yang berafiliasi dengan Daesh kini lebih sporadis.

Menurut dia, mereka hanya bisa memanfaatkan lembaga pendidikan yang sudah berdiri – seperti pesantren – untuk merekrut, mendidik, dan mengirimkan kadernya ke medan pertempuran.

Namun dengan metode sporadis seperti ini, kata Andrie, mereka tidak bisa melakukan kaderisasi jangka panjang dan pola pendidikan berkelanjutan. 

“Berbeda dengan saat Jamaah Islamiyah [JI], mereka bisa menguasai satu pesantren,” ujar dia.

JI menguasai pesantren dengan cara sedikit demi sedikit memasukkan dan memengaruhi kader di pesantren tersebut, sehingga akhirnya mengubah silabus pendidikan menjadi lebih pro gerakan radikal, kata Andrie.

Pendapat ini dibenarkan oleh pengamat terorisme Rakyan Adibrata. Menurut dia, meski sporadis, kelompok yang berafiliasi dengan Daesh mempunyai daya jangkau lebih besar karena bisa berkampanye lewat jaringan melalui berbagai platform, seperti internet dan media sosial.

Konsekuensinya, sambung Rakyan, rekrutmen kelompok teroris lebih longgar, tidak mengikuti kurikulum tertentu seperti yang dilakukan kelompok JI dahulu. Waktu itu, organisasi tersebut dapat terlihat dengan jelas, seperti siapa saja pimpinan atau koordinator wilayahnya, kata dia.

Kini, kata Rakyan, siapa saja bisa ber-bai’at dengan Daesh, tanpa perlu mengenal orang-orang dalam organisasi tersebut. Seperti pada kasus peledakan di Bandung, misalnya, di mana pelaku tidak mengetahui jaringan lain di kota tersebut.

“Kelompok yang tidak terkoneksi satu dengan lainnya, ini lebih berbahaya,” kata Rakyan.

Riset Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), memverifikasi 15 masjid di Indonesia – termasuk masjid di Pesantren Ibnu Mas’ud – sebagai basis penyebaran ideologi Daesh.

Riset diambil dari hasil pemetaan 41 masjid di 16 provinsi di Indonesia pada 2014. Pelacakan dilakukan dari proses persidangan kasus-kasus terorisme, wawancara, dan pemberitaan di media.

Dari situ diketahui, “Daesh mengintervensi masjid, lewat muatan narasi kegiatan atau tokohnya,” ujar Adhe Bhakti, pegiat PAKAR, kepada Anadolu Agency.

Intervensi Daesh ke masjid, oleh PAKAR, dipetakan menjadi tiga klasifikasi menurut tingkat kesulitannya untuk disterilkan kembali.

Pertama, masjid masyarakat umum yang digunakan untuk kegiatan Daesh. Masjid jenis ini lebih mudah disterilkan dari kegiatan Daesh.

Kedua, masjid milik masyarakat tetapi sering jadi tempat ibadah tokoh Daesh. Pada masjid jenis ini, umumnya tokoh Daesh tak berani menyebarkan ideologinya.

Ketiga, masjid yang memiliki jemaah sekaligus tokoh Daesh yang dengan leluasa menyebarkan ideologi Daesh. “Masjid jenis ini agak berat untuk di-take over,” sebut Adhe.

Seorang siswa Pesantren Ibnu Mas'ud terlihat sedang menderas Al-Qur'an, di Bogor, 13 September 2017. Menurut Ketua Umum Badan Kerja sama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) Didin Hafidhudin, jumlah pesantren yang dianggap radikal sangat sedikit. (Dandy koswaraputra - Anadolu Agency)

Pesantren radikal minoritas

Namun Ketua Umum Badan Kerja sama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) Didin Hafidhudin menegaskan, jumlah pesantren yang dianggap radikal relatif kecil di Indonesia.

“Secara nasional mungkin hanya lima sampai enam [pesantren], sedangkan belasan ribu lainnya sangat moderat dan mencintai NKRI,” jelas dia.

Didin mengaku tidak mengenal Pesantren Ibnu Mas’ud, yang ditutup akibat meresahkan masyarakat sekitarnya, karena umumnya pesantren di Bogor berpaham moderat.

“Jadi jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga,” ucap dia.

Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, pesantren adalah lembaga yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, di mana santri, kiai, dan ulama berjuang tanpa pamrih melawan penjajah.

Didin menjelaskan, para pakar sepakat bahwa sistem boarding school adalah alternatif menjaga akhlak anak-anak, karena di tempat itu para santri tidak hanya diajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga adab.

Boarding school itu sistemnya pesantren yang mengatur cara makan, bergaul, beribadah, dan hormat kepada guru,” ujar dia.

Dosen agama Islam Universitas Indonesia Abdi Kurnia Djohan menjelaskan adanya pemahaman radikal di pesantren tak lepas dari niat awal mendirikan pesantren.

“Biasanya karena ada kepentingan politik yang masuk,” jelas dia.

Kondisi ini berbeda dengan pesantren Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri bukan karena tujuan politik.

“Kalaupun kemudian dijadikan basis perjuangan politik itu kan di perjalanan karena kolonialisme,” ujar dia.

Terkait rencana Kemenag membuat standar pendirian pesantren, Abdi berharap aturan ini tidak mengikat.

“Dikhawatirkan standar pengajaran ini akan mematikan kreativitas pesantren,” kata dia.

Abdi juga khawatir kebijakan ini menghilangkan makna pesantren yang selama ini lahir dari masyarakat dan memiliki karakter khas.  

“Sehingga kita tidak bisa membedakan antara pesantren dan lembaga pendidikan formal biasa,” terang dia.

Abdi lalu mengusulkan agar Kemenag membuatkan pakem-pakem pengajaran, bukan standar.

“Misalkan Pesantren dilarang mengajarkan pemahaman menyerang ideologi negara dan ajaran yang menyebabkan keresahan di masyarakat,” ujar dia.

Dia mencontohkan Pondok Pesantren Gontor yang meskipun kurikulumnya tak seluruhnya mengikuti pemerintah, tapi alumninya bisa diterima di dunia internasional.

“Alumni Gontor itu bisa diterima di Timur Tengah, Eropa, dan Amerika,” jelas dia.

Abdi menyarankan dalam membuat standar pesantren, Kemenag menyertakan perkumpulan pesantren dan jaringan pesantren milik NU.

Dengan demikian semua pihak memiliki pemahaman yang sama dalam mengelola pesantren, sehingga upaya radikalisasi dapat diantisipasi. Mayoritas pesantren, seperti kata Didin, sebenarnya memiliki prinsip dasar semacam itu, dan jauh dari radikal. 

Bahkan, BNPT sendiri menampik stigma pesantren sebagai sarang radikalisme.

Muhammad Latief turut berkontribusi untuk artikel ini

Website Anadolu Agency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Topik terkait
Bu haberi paylaşın